MISTERI KEHIDUPAN
“dulu saya ingin jadi
tentara, sekarang kok jadi pengusaha ya?”
“dulu saya ingin jadi polisi, sekarang kok jadi politisi ya?”
“dulu saya ingin jadi dokter, sekarang kok jadi reporter
ya?”
Celotehan diatas hanya sebagai contoh antara keinginan masa
lalu dan apa yang terjadi saat ini. begitulah kehidupan ini, apa yang terjadi
hari esok terkadang diluar dari apa yang kita bayangkan hari ini. Begitu pula
yang terjadi dalam kehidupan saya saat ini.
Saya terlahir di
sebuah tempat yang bernama Baula pada tanggal 19 April 1991 salah satu tempat
yang berada di provinsi Sulawesi tenggara. Walaupun saya lahir di tempat
tersebut namun saya besar di tempat lain dan menghabiskan masa kecil di
beberapa tempat yang berbeda sampai-sampai saya sekolah di 4 sekolah dasar yang
berbeda. Proses mencari kehidupan yang layak dari kedua orang tua saya yang
tidak mempunyai pekerjaan tetap itulah yang membuat saya sampai pindah-pindah
sekolah. Dari Baula (Sulawesi tenggara), kemudian ke Palopo (sulawesi selatan),
dan sampai sekarang di Wolasi (Sulawesi tenggara).
Pada masa kecil itu ada salah satu peristiwa yang cukup
berkesan dan tak terlupakan sampai saat ini, ketika saya dan orang tua tinggal
di Palopo. Saat itu saya diajak oleh Ayah pergi ke pasar malam di sebuah
lapangan melihat pertunjukan sirkus yang jaraknya lumayan jauh dari rumah, saya
dibonceng menggunakan sepeda ontel ala Oemar Bakri yang telah dimodifikasi,
itulah satu-satunya kendaraan yang kami miliki. Nampak dari kejauhan di tengah
lapangan sebuah Tenda yang cukup besar dihiasi dengan cahaya-cahay lampu
berwarna warni dan ramai terlihat orang-orang, perlahan-lahan sepeda ontel ayah
saya mulai mendekati tenda dan kerumunan orang tersebut, kamipun sampai lalu
memarkir sepeda dan membeli tiket. Kami masuk kedalam tenda besar yang
berbentuk kubah itu, memilih tempat duduk, dan membeli beberapa camilan dari
penjual-penjual keliling yang menawarkan dagangannya kepada kami. Penonton
mulai memenuhi kursi di dalam tenda tersebut yang disusun bak stadion sepak
bola, lalu dimulailah pertunjukan malam itu.
Saat itulah saya melihat dengan mata kepala sendiri secara
langsung seekor harimau mengikuti perintah pawangnya melompati masuk melewati
lingkaran api, beberapa ekor Gajah duduk di kursi, ular besar yang bermain
bersama manusia, orang duduk bersila diatas paku namun tidak tertusuk, orang
menggosok gosokkan punngungnya diatas pecahan kaca dan tidak terluka, orang
yang kepalanya diapit batu bata merah lalu dipukul dengan palu besar sehingga
batu bata tersebut pecah namun orang tersebut tidak merasakan sakit pada
kepalanya, orang merubah sapu tangan menjadi burung merpati putih dan terbang
mengelilingi penonton, dan aneka pertunjukkan lain yang cukup memukau dan
mengusik logika saya. Pertunjukanpun usai dan kamipun pulang, diperjalanan
pulang sambil menatap langit yang sudah mulai terhiasi dengan bintang-bintang
saya selalu membayangkan apa yang tadi terjadi, sambil bergumam kok bisa ya?. Saya bersyukur walaupun hidup cukup sederhana, saya
mempunyai sosok Ayah yang berusaha memberikan perhatian dan kasih sayang untuk
kebahagiaan anaknya.
Sebagai anak sulung dalam keluarga kecil yang sangat
sederhana dan hidup di daerah pedesaan yang profesi utama dari penduduknya
adalah bertani termasuk kedua orangtua saya pada saat itu juga seorang petani,
kondisi itu membuat saya tidak punya sosok orang terdekat maupun orang
disekitar saya yang membuat saya tertarik ingin menjadi seperti dia ketika
besar nanti. Hingga suatu saat Ayah saya menceritakan seorang temannya yang
berpfofesi sebagai seorang arsitek. Ayah saya menceritakan sosok tersebut
dengan penuh simpati, bahwa temannya itu adalah seorang arsitek bisa merancang rumah
dengan berbagai model, hingga saya pada saat itu terbayang ketika besar nanti
saya ingin menjadi seorang arsitek.
Waktu terus berlalu, saat itu saya sudah duduk di bangku SMP,
keinginan menjadi seorang arsitek masih tersimpan rapi dalam benak saya, dan
ternyata itu didukung oleh minat saya yang suka dengan kegiatan menggambar
objek-objek tertentu, tokoh film kartun, pemandangan, rumah dan sebagainya
sampai-sampai saya dikenal oleh teman-teman disekolah karena suka menggambar
dan hasilnya cukup membuat mereka kagum.
Manusia hanya bisa berencana Allah yang mentaqdirkan. Keinginan
untuk menjadi seorang arsitek nampaknya tidak berjalan lurus, karena faktor
biaya saya tidak bisa lanjut di Sekolah Menengah Kejuruan yang pada saat itu
disebut dengan STM. Sehingga pilihan berikutnya masuk SMA atau masuk Madrasah
Aliyah. Dengan berbagai pertimbangan Saya akhirnya memilih masuk di Madrsah
Aliyah, dimana sebelumnya saya sama sekali tidak pernah berfikir akan sekolah
di sekolah yang berbasis agama, bahkan ada sedikit keraguan karena disana
belajar bahasa arab sementara saya tidak pernah sama sekali belajar bahasa
arab. Namun dihati kecil saya mengatakan “ini adalah tantangan kamu pasti bisa,
jika orang lain bisa mengapa kamu tidak!”. Saya pun menjalani proses belajar di
sekolah tersebut dan hasilnya diluar dugaan, saya bisa memahami pelajaran
bahasa arab yang diajarkan oleh guru di sekolah bahkan nilai bahasa arab saya
mengalahkan nilai bahasa arab teman-teman alumni Madrasah Tsanawiyah dan lebih
diluar dugaan lagi saya selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas dari
kelas X sampai kelas XII.
Singkat cerita, Saya mulai melupakan keinginan saya menjadi
seorang arsitek dan mulai tertarik dengan profesi guru karena terpengaruh
dengan perjalanan hidup Ibu saya yang menurut saya unik, yang tadinya seorang
petani kemudian bisa menjadi guru, kuliah diusia yang tidak muda lagi hingga
akhirnya mendapatkan gelar Sarjana (S.Pd., SD) ceritanya cukup unik, penuh
tekad, komitmen dan perjuangan, mungkin bisa saya ceritakan di lain waktu.
Akhirnya saya mendaftar di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Haluoleo, saya mengikuti tes seleksi masuk perguruan
tinggi dengan pilihan Jurusan Pendidkan Kimia dan Jurusan Pendidikan
Matematika, dan Allah taqdirkan saya lulus di Jurusan Pendidikan Matematika.
Memang saya termasuk orang yang suka dengan pelajaran angka-angka daripada
pelajaran kata-kata, nilai pelajaran matematika saya dari sejak SD selalu
diatas rata-rata. Alhamdulillah dengan penuh perjuangan dan kesabaran dan
ditengah-tengah keterbatasan ekonomi kedua orang tua, saya akhirnya lulus di
perguruan tinggi tersebut dengan membawa pulang gelar Sarjana pendidikan (S.Pd).
Tidak lama setelah lulus dari perguruan tinggi, saya
kemudian menikah diusia 24 tahun dan tinggal dirumah mertua di Desa Pamandati
Kabupaten Konawe Selatan.
Saya benar-benar telah mengubur keinginan saya untuk menjadi
seorang arsitek, setelah saya mendapatkan beasiswa untuk menyelesaikan kuliah
program profesi guru jurusan matematika di universitas yang sama dan
mendapatkan sertifikat pendidik dengan sebutan sebagai Guru Matematika.
Sekarang saya tercatat sebagai Guru mata
pelajaran matematika di SMPN 49 Konawe Selatan.
Abdul Rahman, S.Pd., Gr. itulah gelar dan profesi saya saat
ini, biarlah keinginan menjadi seorang arsitek itu menjadi kenangan masa lalu
dan pelajaran berharga bahwa hidup ini penuh misteri manusia hanya bisa
berencana Allah yang menaqdirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar